Oleh: Prasetyo Adhi Nugroho, S.H.
Ketika Profesor JE Sahetapy mengemukakan legal opinion-nya yang intinya, bahwa di dalam menegakkan peraturan janganlah terlalu kaku, tetapi juga harus memperhatikan kemanusiaan dan sesuai dengan alam Reformasi yang sedang berkembang saat ini. Ada anggapan sebagian kalangan (ahli) hukum bahwa sistem hukum yang dibangun oleh Belanda (Eropa Kontinental) lebih mementingkan kepastian hukum dari pada “keadilan” jika dibandingkan dengan sistem hukum yang dibangun oleh Inggris dan Amerika Serikat (Anglo Saxon). Namun mereka lupa, bahwa 91 tahun yang lalu telah ada Yurisprudensi yang mengakui bahwa kualifikasi melawan hukum tidak hanya dalam arti kata “bertentangan dengan undang-undang” saja, akan tetapi memiliki makna yang sangat luas menyangkut aspek bertentangan dengan kepatutan dan rasa keadilan masyarakat. Di Indonesia juga, munculnya pendapat soal perluasan interpretasi pencurian listrik, menambah perbendaharaan keluwesan penegakan hukum yang sesuai dengan keadilan masyarakat.

Langkah Pemerintah melakukan berbagai upaya pengampunan pada para Koruptor, betul-betul telah menciderai penegakan hukum dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi itu sendiri, atau kemunduran dalam penegakan hukum, menghianati agenda Reformasi, yang justeru bukannya mengurangi jumlah tindak pidana korupsi dengan efek jeranya, malahan sebaliknya menyuburkan korupsi di negeri ini. Hal ini sangat kontra dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Cina. Pernyataan Profesor Sahetapy memang benar, dan ini juga harus ditindak lanjuti dengan political will pemerintah (dalam arti luas, meliputi 3 lembaga kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif) untuk segera mengamandemen UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan mencantumkan pidana mati secara tegas, dan merevisi ulang peraturan tentang pemberian Grasi dan sejenisnya, terutama pengaturan larangan pemberian ampunan pada Koruptor sebagai pengecualian.

Mengapa demikian? Kita telah sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang extra-ordinary-crime, keluar-biasaannya telah menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan bangsa ini, menghancurkan moral dan sendi-sendi perekonomian negara. Alangkah bangganya jika bangsa ini menjadi besar seperti masa-masa keemasan zaman Sriwijaya dan Majapahit. Amandemen UU Tipikor dan pengaturan ulang (revisi) lembaga pengampunan menjadi kata kunci yang mutlak.